Judul Novel : 5 cm
Penulis : Donny Dhirgantoro
Penerbit : PT Gramedia Widiasarana Indonesia, 2005
SINOPSIS
Sebuah perjalanan yang penuh dengan keyakinan, mimpi, cita-cita, dan cinta.
Dalam perjalanan tersebut mereka menemukan arti manusia sesungguhnya. Semuanya
terkuak dalam sebuah perjalanan ‘reuni’ mendaki gunung tertinggi di Pulau Jawa,
Mahameru. Sebuah petualangan pendakian yang sangat mengundang kekhawatiran. Perpisahan
dan perjalanan yang mereka lewati ini ternyata telah membuat mereka menjadi
manusia yang sesungguhnya, tidak hanya seonggok daging yang hanya bisa bicara,
berjalan, dan punya nama. Perjalanan tersebut bukan hanya membawa mereka pada
petualangan alam yang seru, tetapi juga petualangan mencari arti sebuah
kehidupan ke gunung Mahameru. Di sepanjang perjalanan menuju Puncak Mahameru,
banyak sekali hal-hal yang menakjubkan yang membuat mereka mengerti akan arti
hidup.
Novel ini menceritakan tentang persahabatan 5 orang manusia yang telah menjalin persahabatan selama tujuh tahun. Mereka selalu bersama-sama kemanapun mereka pergi dan beraktivitas, sampai pada suatu ketika mereka sampai pada titik jenuh dengan aktivitas yang mereka lakukan. Akhirnya mereka menemukan sebuah ide untuk tidak bertemu dan berkomunikasi selama tiga bulan. Dan kelima sahabat tersebut memutuskan untuk melepas rindu dengan mendaki puncak gunung Mahameru. Adapun tokoh atau penokohan dalam novel ini adalah:
Arial, Dia adalah Sosok yang paling
ganteng diantara mereka, karena badannya besar, kulitnya item, Suka basket dan
olahraga. Kalo kemana-mana selalu pake sepatu basket, pokoknya rapi dan sporty.
Riani, Wanita berkacamata, cantik, cerdas
dan seorang N-ACH sejati. Dia adalah satu-satunya wanita diantara kelima
sahabat ini. Selalu dominan dimana-mana, cerewet dan nggak mau kalah sama
siapapun juga. Riani seorang aktivis kampus, siapa aja bisa didebatnya soalnya
dia banyak baca dan banyak belajar. Dia mempunyai cita-cita bekerja di stasiun
TV.
Zafran,
Seorang penyair yang selalu bimbang dan jago bikin puisi. Dia juga seorang
vokali sebuah band. Badannya kurus, sekurus kapur tulis, potongan rambut
gondrong samping dan depan. Zafran juga percaya kalo dia sebenarnya punya keturunan
darah Achilles (sehabis nonton film Brad Pitt dan Eric Bana, Troy). Dan dia
juga naksir sama Arinda atau Dinda yang merupakan adik dari Arial.
Ian, Badannya gemuk kepalanya plontos.
Ian adalah penggila bola, apa aja tentang bola dia tahu dan kebanyakan ngabisin
waktunya tentang bola. Suka main Championship Manager atau Winning eleven PS2.
Baju bergambar kartun, celana jins, sama Adidas gazelle buluk adalah kostum
sehari-harinya.
Genta, “The Leader”. Genta adalah pemimpin
di geng ini, karena keempat temannya paling nurut sama Genta. Dia berkacamata
dan selalu pakai baju yang ada, pokoknya Genta adalah orang yang nggak
macem-macem, tapi pikirannya penuh macem-macem. Dia juga mengagumi Riani.
"....Biar
keyakinan kamu, 5 centimeter menggantung mengambang di depan kamu, cuma kaki
yang akan berjalan lebih jauh dari biasanya, tangan yang akan berbuat lebih
banyak dari biasanya, mata yang akan menatap lebih lama dari biasanya, leher
yang akan lebih sering melihat ke atas. Lapisan tekad yang seribu kali lebih
keras dari baja, hati yang akan bekerja lebih keras dari biasanya serta mulut
yang akan selalu berdoa. Percaya pada 5 centimeter di depan kening
kamu...."
KELEBIHAN:
Dalam novel ini, terdapat kata-kata atau quote bagus yang membuat kita terinspirasi untuk semangat menjalani kehidupan. Ditambah lagi penggunaan bahasa yang mudah dimengerti dan penempatan setting waktu dan tempat yang sangat detail. Selain itu dalam novel ini juga diceritakan bagaimana perjalanan menuju puncak gunung Mahameru dan menggambarkan keindahan Mahameru.
Dalam novel ini, terdapat kata-kata atau quote bagus yang membuat kita terinspirasi untuk semangat menjalani kehidupan. Ditambah lagi penggunaan bahasa yang mudah dimengerti dan penempatan setting waktu dan tempat yang sangat detail. Selain itu dalam novel ini juga diceritakan bagaimana perjalanan menuju puncak gunung Mahameru dan menggambarkan keindahan Mahameru.
KELEMAHAN:
Di akhir cerita, keadaannya sangat begitu memaksakan, dengan pembentukan keluarga antar sahabat ditambah lagi dengan keturunan-keturunan mereka yang mempunyai sifat dan karakteristik yang sama dari para orang tuanya. Dalam novel ini terdapat penggalan-penggalan lirik lagu luar atau asing yang menggambarkan keadaan, dan mungkin akan dilewati oleh pembaca. Terlebih jika pembaca masih awam terhadap musik luar, itu membuat mereka sulit memahaminya.
Di akhir cerita, keadaannya sangat begitu memaksakan, dengan pembentukan keluarga antar sahabat ditambah lagi dengan keturunan-keturunan mereka yang mempunyai sifat dan karakteristik yang sama dari para orang tuanya. Dalam novel ini terdapat penggalan-penggalan lirik lagu luar atau asing yang menggambarkan keadaan, dan mungkin akan dilewati oleh pembaca. Terlebih jika pembaca masih awam terhadap musik luar, itu membuat mereka sulit memahaminya.
KESIMPULAN:
Novel ini
sangat cocok untuk dibaca oleh para anak muda, khususnya kalangan remaja.
Karena novel ini menjelaskan kepada kita bagaimana arti persahabatan. Selain
itu novel ini memberitahu kita bahwa Indonesia mempunyai alam yang indah dan
mengajarkan kita untuk selalu mencintai tanah air yang indah ini, yaitu
INDONESIA.
RINGKASAN
Pada suatu malam lima orang ini berada sedang berada di dalam mobil, mereka
dalam perjalanan pulang setelah baru saja makan bubur ayam di Cikini. Lalu
dalam perjalanan tiba-tiba Ian berkata “Wooi mau kemana lagi nih? Capek nih gue
nyetir...muter-muter nggak karuan”. Riani menjawab “Nonton aja yuk!”.. “Nonton
apa? Lagi nggak ada yang bagus...,” Genta males nonton.. “Shrek 2 aja...,”
Arial tiba-tiba berkata. “Udah!!!” Keempatnya menjawab serentak. Dari mereka
berlima memang hanya Arial yang belum nonton Shrek 2, karena pada saat itu dia
sedang sakit tipes sehingga nggak bisa ikut nonton bareng. “Trus mau ngapain
dong...? Ke rumah gue lagi?” Tanya Arial. “Setuju!!!” Zafran langsung teriak.
Dari keempat
temannya hanya Zafran yang paling seneng kalo kerumah Arial, maklum Zafran dari
dulu udah naksir berat sama adiknya Arial yaitu Arinda atau Dinda.
Karena sudah
bingung ingin kemana lagi, akhirnya mereka berlima sepakat untuk kerumah Arial.
Sebelum kerumah Arial, Riani membujuk teman-temannya untuk patungan beli pizza
dan monopoli.
Sesampainya dirumah Arial, mereka langsung masuk ruang tamu. “Malam,
Tante...”. “Oh malam anak-anak.. mau main
disini lagi ya? Untung Tante baru beli singkong keju....” “Iya, Tante...” “Seneng deh ketemu kalian lagi”. Lalu Mama
Arial tiba-tiba teriak memanggil Arinda, dan seketika Zafran langsung bengong.
Zafran masih
bengong dengan sendiri, masih heran kenapa setiap kali ketemu Dinda pasti ada Sountrack Evergreen Love Songs di
otaknya, Padahal dia anak band alternatif yang agak anti lagu cengeng. Dan juga
masih heran sama senyum Dinda yang menurut dia bisa ngalahin semua bintang
sinetron telenovela.
“Alaaa...
udah yuk ke atas...,” Ajak Arial. “Yuk!” Riani yang paling semangat, dia males
ngeliat Zafran jadi bengong begitu ketemu Dinda. Akhirnya Arial mengajak teman-temannya ke
ruangan atas depan kamarnya yang selama ini mereka sebut sebagai “The Chambers
of Secret Sorcerer Stone” Kenapa? Karena semuanya penggemar Harry Potter.
Akhirnya mereka semua bermain monopoli disana.
Setelah
bermain monopoli dan makan cemilan serta pizza, mereka pun bosen. Mau nonton
TV, bosen lagi. Nonton VCD, bosen juga. Cemilan dan pizza udah abis sama Ian,
jadi tinggal ngobrol, ngobrol dan ngobrol... nggak jelas.
Karena mereka sudah bosan akhirnya
Arial mengajak pindah ke Secret Garden. Sambil turun tangga Ian pesen ke Arial
kalo dia pengen Indomie, dan Arial pun langsung memberikan aba-aba ke
pembantunya untuk membuat Indomie. Kalo Ian udah makan Indomie seperti biasa
Riani paling suka minta kuahnya, apalagi yang kari ayam. Kemudian mereka pun
beranjak ke Secret Garden. Sesampainya di Secret Garden mereka duduk membentuk
lingkaran, seperti biasa Riani duduk di sebelah Genta. “Yan sebelum makan lo
harus nyanyi dulu...” Arial langsung memberikan gitar yang sudah satu paket
dengan teh manis hangat dan Indomie-nya Ian. “Kiss of life-nya Sade, Yan...,”
Genta meminta “Jangan, Always-nya Atlantic Star aja...,” imbuh Arial. “Fake
plastic Tress-nya Radiohead aja,” Zafran dengan mantap mau berkelam-kelam ria.
“Yo’i...,” Riani setuju.
Diantara keindahan malam di Secret Garden mereka bernyanyi. Ketika sedang
bernyanyi, lagu Fake Plastic Tress
mengingatkan mereka pada sifat Ian sebelum bergabung ke dalam geng mereka.
Mereka berlima memang sudah menjalin persahabatan sejak bangku SMA, namun
diantara mereka berlima Ian merupakan ranger terakhir yang masuk dalam geng
“Power Rangers”. Sebelumnya mereka hanya berempat, namun setelah Ian masuk
sebagai anggota terkahir geng mereka, akhirnya mereka berlima sepakat memberi
nama geng ini dengan sebutan “Power Rangers”. Ian yang dulu adalah Ian yang
belum menemukan jati dirinya. Ian yang kadang-kadang cuma ikut nimbrung
nongkrong bukanlah Ian yang sekarang. Ian yang dulu adalah orang yang ngga pede
sama dirinya sendiri, yang selalu mencoba jadi orang lain, yang selalu
memandang orang lain lebih hebat dari dirinya. Namun teman-temannya selalu berusaha
mengingatkan Ian agar menjadi diri sendiri. Kalau ingat kejadian itu, Ian
menamkannya dengan “Finding Ian”. Dan sekarang Ian menjadi Ian yang apa
adanya...
**
Masih di Secret Garden, Ian
bernyanyi dengan gitarnya menambah suasana hangat malam itu. Sampai akhirnya
Indomie Ian datang, dan kalo Ian makan Indomie pasti Riani langsung mengambil
mangkok kosong yang udah disiapin pembantunya Arial buat minta kuahnya. Setelah
bernyanyi dan bercanda entah untuk keberapa kalinya mereka mengalami De javu. Merek merasa bosan karena kalau
kemana-mana selalu berlima. “Gue sih nggak pernah bosen sama kalian,” Arial
menjawab. “Bukan sama orang-orangnya, tapi sama kita-nya” Zafran mendesis
pelan. “Iya nih kita standar-standar aja” Arial nyambung lagi.
Zafran tiba-tiba berkata, “Plato,
seorang filsuf besar pernah bilang bahwa nantinya dalam kehidupannya setiap
manusia akan terjebak dalam sebuah gua gelap yang berisi keteraturan kemapanan,
dan mereka senang berada di dalamnya. Karena mereka terbuai dengan segala kesenangan
disana dengan apa yang telah mereka capai, hingga akhirnya mereka takut keluar
dari gua tersebut. Mereka memang bahagia, tetapi diri mereka kosong dan mereka
nggak pernah menemukan siapa diri mereka sebenarnya... mereka nggak punya
mimpi.”
“Mungkin sebaiknya kita nggak usah
ketemuan dulu,” Genta berkata. “Maksudnya?” Riani menjawab. “Keluar dari gua
kita untuk sementara.....,” Zafran melanjutkan. “Gue mau...,” Arial menyambut
dengan mantap. “Tapi gue nggak mau kehilangan kalian semua,” Riani berkata
pelan. “Ya enggak-lah,”.. “Kita keluar sebentar aja, bermimpi lagi
masing-masing tentang kita, nanti pas ketemu lagi, pasti lain lagi, lain
ceritanya, lain lagi orangnya,” kata Genta. “Gue setuju! Gue mau PDKT lagi sama
skripsi yang udah lama gue putusin” semangat Ian. “Untuk berapa lama?”
Pertanyaan yang susah ini bikin bingung semuanya. “Enam bulan!” usul Zafran.
“Enggak mau!” Riani langsung ngambek. “Tiga bulan aja,” tiba-tiba Ian nyeletuk.
“Setuju!” Arial langsung setuju. Genta mengangguk. Zafran pun setuju.
“Ya udah, kalian jahat,” Riani
menjawab dengan tegar. “Yee... tadi katanya mau, sekarang bilang jahat, yang
jahat disini kan nggak ada, kita kan ‘Power Rangers”–pembela kebenaran,” Zafran
mencoba bercanda dengan Riani. Akhirnya Riani pun tersenyum manis sekali. “Tiga
bulan dari sekarang kapan yah...tanggal berapa?” “14 Agustus,” Arial menjawab. Kita ketemu
lagi tanggal 14 Agustus yah...,” Genta meyakinkan teman-temannya. Akhirnya
mereka sepakat tidak boleh bertemu dan saling berkomunikasi dalam bentuk apapun
selama tiga bulan, sampai tanggal 14 Agustus.
**
Selama tiga bulan tidak bertemu
mereka berlima mengejar mimpinnya masing-masing yang belum tercapai. Ian
berjuang menyelesaikan skripsinya untuk menjadi sarjana, sementara Arial
mengejar cintanya dari seorang wanita yang dia kenal di tempat fitness yaitu
Indy. Dalam kurun waktu tiga bulan itu
juga mereka menemukan hal baru dan diterpa rasa rindu. Riani yang rindu dengan
Genta dan Zafran yang rindu dengan Dinda adik dari Arial.
*
Sabtu siang
menjelang sore..
Arial terjebak diantara kemacetan
pintu tol Cibubur. Lengan kekarnya yang memegang stir keras merekam kepenatan
di dalam dirinya. “Rumahnya jauh banget sih...,” batin Arial dalam hati.
Akhirnya setelah mobilnya berhasil melewati kpenatan pintu tol Arial pun sampai
di rumah Indy. Sudah satu bulan ini Arial memutuskan untuk mengenal Indy lebih
dekat–wanita inceran Arial yang
dikenalnya di tempat fitness.
“Halo,” Arial menyapa Indy. “Kenapa
lama?” “Macet banget. Rese.... Eh nggak bilang bokap nyokap?” “Lagi pada pergi.
Udah langsung cabut aja.” “Ok... Ibu Indy... saya siap mengantarkan Ibu Indy
kemana aja...,” Arial bercanda seneng.
“Acaranya
jam berapa? Sekarang udah jam lima lho?” “Abis magrib” “Kamu udah ashar belum?”
tanya Indy. “Belum... hehehe...,” sambil tertawa kecil Arial menjawab
pertanyaan Indy. Sekali lagi ini yang Arial suka dari Indy, selalu mengingatkan
dirinya untuk shalat – suatu kewajiban yang sering dia tinggalkan. “Dasar...
nggak apa, tapi nanti harus magrib yaa!” “Iya,”. “Kamu belum cerita siapa yang
ulang tahun?”. Temen SMA. Dia dulu tetangga di Cibubur, tapi sekarang pindah ke
Bogor,”. “Dia masih inget kamu?” “Kita kan dulu deket banget, temen curhat
gitu-lah.” “Oh... kirain tadi acaranya jam 4....” “Jam 4? Emangnya ulang tahun
anka kecil yang pake undangan kartu kecil gitu sama jam kosong buat kita gambar
sendiri jarumnya?” Arial pun tertawa.
Setelah melalui perjalanan yang
cukup lama akhirnya mereka sampai, Kijang Arial memasuki daerah perumahan di
Cisangkuy yang rimbun. Memasuki rumah Asri yang sedang berulang tahun,
keramaian meyambut mereka.
“Halo Indy... dateng juga lo. Sama
siapa? Kenalin dong,” “Asri ini Arial. Arial ini Asri.....”. Asri menggamit
tangan Indy untk diculik ke belakang sebentar. “Lucu banget, Dy...siapa tuh?”
“Udah jadian belum....?” tanya Asri. “Tau nih bingung...” “Kayaknya jadi temen
aja deh...,” Indy berkata lembut. “Rugi lo, atletis boo...,” celetuk Asri
sambil melirik Arial. “Lo tau kan, buat gue fisik nggak penting. Udah ah,
kasihan tuh sendirian, mati gaya dia,” jawab Indy, lalu berjalan ke Arial.
Setelah satu
setengah jam di rumah Asri, mereka pun pamit pulang...
“Mau kemana lagi, Bu?” kata Arial.
“Nggak tau nih. Tapi kau lagi males pulang.” “Sama”. Tiba-tiba Arial punya ide
cemerlang. “Ke Puncak aja yuk, kan deket.” “Ngapain?” “Ada tempat, punya
keluarga besar gue di sana, deket-deket puncak pas. Kayak vila gitu deh. Kita
ngobrol-ngobrol aja. Di jalan kita beli jagung bakar, duren, sama bandrek.
Gimana?”... “Tapi jangan macem-macem ya, Pak!” Indy menatap mata Arial.
“Maksudnya?”. Arial yang nggak ngerti maksud Indy, bertanya sambil mengerutkan
keningnya. Indy akhirnya nyadar, Arial yang emang polos dan baik nggak akan
pernah punya pikiran macem-macem. “Nggak,”Indy menjawab. “Oke kita ke Puncak,”
kata Indy sambil menoleh dan tersenyum manis.
Akhirnya mereka sampai di Puncak.
Mobil Arial berhenti di depan gerbang sebuah vila yang berada di atas bukit
kecil. Disana mereka berdua menikmati indahnya pemandangan dari atas vila Arial
yang ditemani oleh dinginnya udara malam di Puncak. Obrolan dan candaan terus
mengalir dari mulut mereka. Sampai Aakhirnya Arial mencoba mengungkapkan
perasaannya kepada Indy. Dan... Arial pun mencium kening Indy. Indy masih rebah
di bahu Arial, sambil menikmati keindahan malam.
**
Ian mencium
tangan kedua orang tuanya, untuk berpamitan ke kampus...
“Jadi...
KAMU... mau... ganti... lagi... semuanya?”
“Enggak juga sih Pak. Judulnya doang
dikit, sama hubungan antarvariabelnya, ada juga variabel yang ditambah,” Ian
menjawab pertanyaan dari doen pembimbingnya. “Kamu selama ini kemana aja Ian?”
“Cuti pak,” Ian bohonh. “Cuti apa Ian?” “Bantu orang tua di sawah...,” Ian
bohong lagi. Bohongnya salah lagi, mana ada sawah di Jakarta. Ian menyesal
dalam hati. “Mana ada sawah di Jakarta?” “Ada Pak!” Jawab Ian (cari gara-gara).
“Kamu bohong Ian?” “Mm... iya Pak... saya sebenarnya cuti untuk cari duit, Pak.
Jadi model bayi yang No Problem itu Pak, yang lucu, tapi yang sekarang udah
gede bayinya. Syuting iklannya di Jepang, Pak. Di Satchi and Satchi, kan jauh
itu Pak, jadi saya cuti.
Ian bohong lagi. Tapi bohong yang
ini rada-rada pinter karena dosennya percaya Ian emang sangat mirip sama model
bayi No Problem. Ian pun lega.
“Oh...
begitu... benar?” “Iya Pak!” “Bangga juga Bapak sama kamu. Jadi mau tambah satu
variabel lagi?” “Iya, Pak!” “Oh... begitu... variabel apa lagi yang kamu mau
tambah?” “Saya mau tambah variabel kecerdasan emosional, jadi nanti dilihat apa
hubungannya sama Lima Disiplin Pembelajaran Organisasinya Peter Senge. Efektif
nggak untuk sebuah organisasi. Begitu Pak,”Ian berbicara cepat. “Oh...
begitu..,” “Iya Pak begitu,”.
“Kamu SD berapa tahun Yan?” tiba-tiba dosennya bertanya. “Enam Pak. Emangnya
kenapa?” “Kalo kamu menyelesaikan kuliah kamu enam tahun juga, berarti kamu
otak anak SD,”. Sang dosen bertanya lagi, “Dua bulan lagi ada sidang... bisa
dikejar empat bab dalam dua bulan Ian?”. Ian diem. Hmm, baik juga nih dosen
nyuruh sidang cepet-cepet. “Kalo kamu bisa, nanti saya bantu banyak.” “Nggak
tau yah Pak. Pusing juga, dua bulan empat bab, belum kuisionernya.” “Cuma kamu
saja anak bimbingan saya yang lama... lainnya Cuma satu semester. Kamu udah
bikin rekor nggak enak buat saya.” “Iya nih Pak.. Saya nggak enak, saya juga
dulu milih Bapak biar selesai satu semester, tapi kalo dua bulan empat bab
pusing juga, Pak,” jawab Ian. “Bisa.. “. nggak? Dosen Ian menghardik galak.
“Bisa deh Pak,” Ian jadi takut. “Bagus... sekarang taruh kata bisa itu disini,”
dosen Ian berkata sambil menunjuk ke jidatnya.
“Iya, Pak.
Makasih, Pak.” “Kapan kamu nyerahin bab duanya?” “Minggu depan, Pak.” “Enggak
boleh empat hari lagi kamu ke sini... bab dua kamu harus sudah selesai...
ngerti.” “Hah???” Ian bengong. “Masa empat hari, Pak?” “Kamu SD berapa tahun,
Yan?” “Iya, iya deh Pak,” Ian nggak mau denger kata-kata nyakitin lagi dari
dosennya. “Ya udah sana... selamat sore Ian.” “Sssore pak.” Ian membereskan
berkas-berkas skripsinya dan pergi menjauh dari ruangan dosennya.
Sesampainya di rumah Ian langsung
menuju komputernya yang ia namakan “Si kompibaiksekalitemenIan” untuk
menyelesaikan skripsinya yang sempat tertunda. Ian yang sedang intelek sedikit
gara-gara harus bikin skripsi, langsung mengganti gambar desktop yang semula
bergambar Sir Alex Ferguson dengan
gambar wisuda kampus megah milik kakaknya yang kebetulan udah lulus dan satu
kampus sama Ian.
Setelah mengerjakan bab I, keesokan
harinya Ian menemui dosennya untuk menyerahkan bab II. Ian pun bergegas menemui
Pak Sukonto Legowo dosen pembimbingnya,
bab II nya sudah bagus dan tidak ada revisi. Alhasil Ian langsung
disuruh melanjutkan bab III, namun Ian disarankan oleh dosennya untuk menyebar
kuisioner dulu sambil melanjutkan bab III. Ian pun semakin senang karena sang
dosen mau membantunya membuat kuisioner.
Dua hari kemudian Ian sudah berada
di kantor tempat ia melakukan penelitian untuk menyerahkan kuisionernya. Lima
hari berlalu... Ian yang sedang berkutat dengan skripsinya mendapat tiba-tiba
mendapat telepon. “Mas Dono ya? Udah selesai ya, Mas?” “Kayaknya ada masalah
Yan... Direksi nggak ngizinin kuisioner kamu, padahal udah hampir terisi semua.
Kuisionernya nggak boleh keluar dari kantor. Data perusahaan yang ada di Ian
juga disuruh tarik lagi.” “ Sori banget Yan. Mas Dono udah coba argumen, tapi
masih ditolak.” “Mas Dono bingung nih... nggak enak dapat peringatan. Nanti
malam data yang ada di Ian, Mas Dono ambil ya?”. Ian menarik napas panjang,
“Udah bener-bener nggak bisa ya Mas?” “Mas Dono udah coba berbagai cara”. Ian
percaya mas Dono orangnya baik dan memang bisa dipercaya. “Ya udah Mas, nggak
apa-apa.” “Sori banget ya, Ian.”
Waktu seminggu untuk kuisioner lewat
dalam sekejap, Ian pun patah semangat. Sejenak bayangan teman-temannya melintas
di benaknya: Genta... Zafran... Riani... Arial. Gila... kangen banget gue sama
mereka. Coba mereka ada disini. “Mas.. Jam berapa?” tiba-tiba Ian dikagetkan
oleh seorang laki-laki berpakaian kerja. “Jam enam kurang lima.” Jawab Ian.
“Makasih ya Mas. Mas ada api?” “Ada!” jawab Ian sambil merogoh sakunya. “Rokok
Mas?” “Mm... iya Mas. Makasih.” “Pulang kerja Mas?” “Yo’i” jawab jawab lelaki
berkemeja itu. “Kerja dimana?” “Disana tuh gedungnya...,” “Bagian apa mas?”
“HRD”.
Mata Ian
membeliak, sepancar wajah cerah terpancar. “Wah kebetulan nih. Saya lagi bikin
skripsi tentang HRD, tapi mau bagi kuisionernya nggak ada yang mau nerima. Mas
mau nggak?” “Boleh gue liat?” “Ini Mas, kuisionernya.” “Lho? ini kan yang lagi
diteliti tim gue di kantor. Wah, bagus-bagus nih pertanyaannya... pas banget
nih... gue sebarin di kantor gue aja ya... oke?” “Tapi yang cepet ya Mas. Saya
Cuma punya waktu sebulan lebih dikit lagi... seminggu aja ya, Mas?” “Seminggu?
Tiga hari juga kelar.”
Benar saja tiga hari kemudian Ian
mendapatkan kuisionernya sudah terisi lengkap, kemudian Ian melanjutkan
skripsinya hingga selesai. Hingga akhirnya waktu sidang tiba... “Kira-kira 10
menit lagi giliran gue.” Ian pun mempresentasikan tugas akhirnya dihadapan para
penguji.
Jakarta
menunggu sore. “Adrian Adriano...” “A!!!” “Yes!” Ian bersorak gembira ketika
nama dan hasil sidang diumumkan. Dan akhirnyaaaa.. Ian lulus. Ian juga tidak
lupa berterima kasih kepada dosen pembimbingnya.
**
7 Agustus
pukul 09.00.. Arial mengirim SMS kepada teman-temannya.
Selamat pagi semuanya gw kangeeeen
bgt sama kalian semua, sumpah! Tgl 14 nanti kita ketemu di stasiun kereta api
senen jam 2 siang. Trus kalo ada acara dari 14-20 Agustus lo batalin dulu yaa.
Please... ini yg harus dibawa kalo gak ada minjem ya. Kan ada waktu seminggu:
Carrier. Bajuanget yg banyak. Senter dan batere. Makanan dan snack buat 4
hari... kacamata item. Betadine, obat sendal sepatu. Kalo bisa mulai hari ini
olahraga kecil-kecilan, apalagi buat Ian. Gitu aja ya. Sampai ketemu di stasiun
senen jam 2. Genta yg lagi kangen.
Send to many
Zafran, Riani, Ian dan Arial yang
mendapat SMS dari genta kaget bercampur senang, saat mereka melihat kalender
mereka sadar bahwa sekarang tanggal 07 Agustus dan seminggu lagi mereka akan
bertemu. Mereka semua sudah sangat rindu satu sama lain dan akhirya mereka akan
bertemu pada tanggal 14 Agustus di Stasiun Senen.
14 Agustus.
Satu lebih tiga puluh lima menit.
Siang itu daerah Senen panas sekali.
Di Stasiun Senen Genta sedang menkmati makan siang di salah satu restoran
padang. Tiba-tiba sosok Zafran terlihat oleh Genta. “Jupleeeee!!!” Genta
berteriak. “Halo Ta,” Zafran cekikikan senang menyalami Genta. “Juple... gila
ancur lo. Kangen gua sama lo, sama anak-anak...”. “Genta!!!” “Zafran!!!”
teriakan Ian dan Riani membuat Genta dan Zafran tengak-tengok. “Ian...!”
“Riani...!” Ian dan Riani berlari kecil memasuki restoran padang. Riani
langsung memeluk Genta dan Zafran. “Kangen... kangen... jahat... jahat, kangen
banget gue... kangen,”.
“Hercules Gilaaaa...!!!” Zafran
teriak. Sosok Arial memasuki restoran. “Arial...!” Riani berdiri dan memeluk
badan gede itu. “Genta... wah lo emang gila,” kata Arial. “Halo men!” jawab
Genta. “Juple!” “Apa kabar lo men?” tanya Zafran. “Baik, gue mau cerita banyak
nanti.” “Masa gue bisa kangen banget sama Rambo gila ini,” cetus Ian. Arial
menatap satu-satu temannya dan beujar, “Eh... oh iya, gue ngajak seseorang buat
ikut kita. Abisnya dia pengen banget ikut.” “Lho mana orangnya?” semuanya
penasaran. “Si Dinda gue ajak...” “Asik... dong! gue nggak cewek sendiri,”
Riani menyambut Arinda. “Halo semuanya... udah lama nggak ketemu ya!” “Halo
Dinda apa kabar?” semuanya menyapa Dinda. “Halo Bang Zafran.” “Eh Dinda ikut?”
“Iya...”. Riani tiba-tiba mengeluarkan pertanyaan yang dari tadi sudah
ditunggu-tunggu, “Kita sebenarnya mau ke mana sih?”.
Pukul
setengah tiga lebih, mereka berenam berangkat dari Stasiun Senen. Mereka
berangkat menaiki kereta ekonomi MATARMAJA yang entah sudah berapa tahun
melayani trayek Malang-Jakarta. Dan akhirnya kereta pun mulai berjalan perlaha
meninggalkan Stasiun Senen...
“Ta, kapan terkahir lo ke sana?” “Tiga tahun
yang lalu, Ple. Bulan Agustus juga” “Kalo bulan Agustus rame banget ya di sana?” tanya Dinda. “Rame
sih, tapi nggak rame banget.” “Kenapa Agustus?” “Kan tiap tujuh belasan ada
upacara di puncaknya,” Arial menjawab pertanyaan Dinda. “Mas Ial kan belum
pernah kesana.” “Diceritain Genta” “Berapa meter tingginya, Ta?” “3676 m dari
permukaan laut....” “Busyet, tinggi juga ya,” Zafran kaget sendiri. “Tinggi
banget...” Riani bengong, “Medannya berat nggak, Ta?” “Ya lumayanlah.” “Kuat
apa kita? Bawa paus lagi?” Zafran bercanda sambil menendang Ian. “Iya Ta, gue
kuat nggak Ta?” tanya Ian pasrah. Nggak tau ya, kayanya sih nggak. Makannya lo
gue suruh lari pagi dulu seminggu sebelumnya. Lari pagi nggak lo?” “Lari!”
“Setiap hari? Hebat juga lo!” “Enggak! Sehari doang” “Dasar paus!”.
“Dari dulu
gue pengen banget ke sana” kata Arial. “Cuma di puncak sana aja yang ada
upacara tujuh belasan-nya?” Riani bertanya lagi. “Enggak lah kalo kita jeli,
hampir tiap puncak di Indonesia, tiap tujuh belasan pasti ada yang naik untuk
upacara. Pers aja jarang merhatiin, padahal keren kalo dibuat liputan,” Genta
berkata pelan. “Wah bagus tuh buat trip
report gue,” kata Riani. “Kalo kita nanti sampai di puncaknya, berarti kita
berada di tanah paling tinggi di Pulau Jawa.” Genta menatap tajam ke
teman-temannya. “Oh jadi jadi puncak yang paling tinggi di Jawa. Ta...” “Iya,
Yan.” “Nama puncaknya apa Ta?” “Mahameru”.
Setelah menempuh perjalanan yang
panjang dari Jakarta ke Malang, pukul setengah tiga lebih mereka akhirnya tiba
di Stasiun Malang.
“Abis ini kita kemana Ta?” Arial
bertanya. “Gue lagi bingung nih... harusnya kita ke stasiun bus Arjosari dulu,
terus naik angkutan ke Tumpang.” “Tumpang itu daerah mana?” “Tumpang itu kalo
dari Malang gerbang masuknya TNBTS.” “Apa tuh? Singkatan? Zafran bertanya. “Oh
iya sori... Taman Nasional Bromo Tengger Semeru”. Lalu Genta dan Arial pergi
keluar stasiun untuk mencari carteran angkot. Sepuluh menit kemudian Genta dan
Arial datang. “Dapet?” Arinda langsung bertanya. “Dapet! Siip, murah lagi.”
“Ayo... berangkat!”. Dan mereka semua bernangkat menuju Tumpang dengan
menggunakan angkot.
Matahari sore masih tersisa sedikit,
sore itu di Tumpang banyak sekali kesibukan. Jip-jip menunggu pendaki yang
mulai berdatangan. Karena jalan yang akan ditempuh bukan jalan biasa lagi dan
agak menanjak, maka mereka harus menaiki jip untuk sampai ke atas. Rombongan
ini pun berjalan ke arah jip yang telah ditunjuk Genta, dan mereka bersiap
untuk menempuh perjalanan kembali.
Dan
akhirnya... mereka sampai di kaki Mahameru. “Ta...” “Iya Yan.” “Nanti kita akan
ke sana? Berdiri di puncak itu? Berdiri di sana?” “Iya...” “Tinggi banget,
Ta...” “Iya.” “Bisa apa kita, Ta?” “Yakin kita bisa?” Genta menoleh kepada
teman-temannya dan menatap satu-persatu. “Gue udah taruh puncak itu dan kita
semua ada d sisni.” Arial berkata pelan sambil menunjuk jari ke keningnya.
Genta tersenyum. “Kalo begitu... yang kita perlu sekarang Cuma kaki yang akan
berjalan leih jauh dari biasanya, tangan yang akan berbuat lebih banyak dari
biasanya, mata yang akan menatap lebih lama dari biasanya, leher yang akan
lebih sering melihat ke atas, lapisan tekad yang seribu kali lebih keras dari
baja.”
“Dan hati
yang akan bekerja lebih keras dari biasanya,” sambung Zafran.
“Serta mulut
yang akan selalu berdoa,” Dinda tersenyum manis.
Setuju!!!
**
Malam sudah datang menyapa mereka
saat menjejakkan kaki di tanah Ranu Pane. Udara di bawah lima belas derajat
Celcius menyambut mereka di Ranu Pane. Keenam sahabat ini pun bermalam di Ranu
Pane dengan mendirikan tenda untuk tidur. Kemudian mereka membuat api unggun
untuk menghangatkan tubuh dan mereka beristirahat di dalam tenda. Pada pukul
05.00 mereka semua bangun dan bergegas untuk mulai mendaki gunung. “Siap
semua?” Genta memegang kedua tali carrier dan menatap teman-temannya.
“Berangkat!”
Mereka mulai melangkah, menyusuri
jalan berbatu desa yang akhirnya berbelok ke jalan setapak kecil menuju ke
punggung Mahameru. Sudah satu jam lebih mereka berjalan tanpa henti. “Genta...break, Ta. Hehh... hehh...,” napas Riani
memacu satu-satu. “Iya Bang Genta, break dulu.”
Keringat meluncur deras di kening Arinda.”Oke sip. Itu di depan ada pohon. Kita
break di situ”. Setelah beristirahat
sejenak, mereka pun melanjutkan perjalanannya. Perjalanan berlanjut
menembus-mendaki pinggir hutan punggung Mahameru. Dari ketinggian pinggiran
lereng hutan Mahameru, Ranu Kumbolo perlahan muncul seperti tetesan air raksasa
yang jatuh dari langit dan membesar di depan mereka.
Sesampainya di Ranu Kumbolo, mereka
beristirahat dan membuat makan siang. Udara Ranu Kumbolo tiba-tiba berubah
dingin, menemani mereka makan siang di sekeliling danau dengan beberapa batang
pohon terjulur di atas danau. Setelah mengahbiskan makan siang dan
bercakap-cakap, Pukul tiga kurang lima mereka bersiap untuk melanjutkan
perjalanan. Zafran dan Genta melipat terpal, Arial dan Ian membereskan kompor
parafin, Riani dan Dinda membereskan sisa-sisa makan siang. “Ta...” “Iya, Yan.”
“Berapa lama lagi kita jalan?” “Kalo sampai puncak ya masih setengah hari
lagi...tapi nanti malam kita ngecamp dulu Arcopodo.” “Masih jauh banget ya?”
“Masih... jauh, nggak pakai banget.” “Siap?” sebentar mereka menatap Ranu
Kumbolo yang tenang selepas siang. Kemudian mereka kembali melanjutkan
perjalanan. “Berdoa dulu.” Semuanya tertunduk, memjamkan mata. “Yuk....”
Mereka mulai melangkah lagi, mulai
berjalan meninggalkan Ranu Kumbolo. Rombongan itu langsung disambut oleh sebuah
bukit tinggi dengan jalan setapak yang menanjak curam membelah kumpulan ilalang
liar yang tumbuh di badan bukit. “Gilee tinggi juga ya...” “Agak curam”
“Tanjakan cinta.” “Apaan Ta?” “Banyak yang menyebut bukit ini tanjakan cinta.”
“Hahaha... Kenapa Ta?” “Itu liat aja, Ple. Kalo dari jauh bentuknya kayak
lambang cinta.” “Iya juga sih.” Genta meneruskan, “Ada lagi mitos satu yang
mengatakan kalo kita terus mendaki tanpa melihat ke bawah lagi maka segala
mimpi tentang cinta kita akan terwujud.” “Hah yang bener?” mata Ian dan Zafran
berbinar-binar. “Iya, tapi ada satu lagi syaratnya. Selama kita mendaki harus
terus mikirin orang yang kita mau itu.” Ian dan Zafran pun kegirangan dan
mendaki sambil menyebut-nyebut orang yang mereka suka. Mereka terus melangkah
sambil berpikir keras. Ian memikirkan Happy Salma dan Zafran melakukan hal yang
sama, siapa lagi yang dipikirin kalo bukan Dinda.
“Fiuh, fiuh, fiuh.” Atur napas
satu-satu. “Capek juga ya Ple.” “Iya makannya jangan cepet-cepet. Santai aja.”
“Gilaa... berat juga mencari cinta. “Juplee!!... Ndut!!! Wooy!!!” “Iya Taa...”
Ian dan Zafran refleks menengok ke bawah. “Apa Ta?” “Sampai ketemu di atas
bukit ya...,” Genta berteriak lantang. Arial, Riani dan Dinda tertawa
terbahak-bahak, sementara Genta yang masih bingung bertanay “Kenapasih?” “Wooy
kenapa?”. Arial yang masih tertawa coba memberitahu Genta. “Hahaha...gara-gara
lo panggil, mereka berdua nengok ke bawahkan? Padahal kalo mau keinginannya
tercapai kan nggak boleh nengok ke bawah... hahaha...”. “HAHAHA...,” tawa Genta
meledak keras. “Gue... gue... enggak sengaja. Sumpah! Hahaha... ancur... Gue
emang mau manggil mereka berdua, sumpah nggak sengaja.” Ian dan Zafran terduduk
lemas di atas. Alhasil mereka pun kesal dan menyalahkan satu sama lain.
Tak
terasa langkah mereka semakin berat kelelahan, mereka berada di ujung pinggiran
bukit, di depan tampaklembah kecil menganga seperti bekas sungai yang tak
berair. Pasir dimana-mana, pohon-pohon mati tampak melintang di jurang dalam
seperti bekas sungai tersebut. “Ih, tempat apa ini?” “Serem banget...” “Kita
di... Kalimati.” “Di Kalimati, dari sini kita bisa ngerasain Mahameru bergetar
dan ngeluarin hujan... hujan abu?” Genta memejamkan matanya dan mengambil
kacamata.
Udara menjelang maghrib menyapu
mereka. Rombongan itu melangkah lagi, naik k tebing Kalimati dan memasuki hutan
cemara yang sudah mulai menggelap. Mereka terus berjalan melewati dalam hutan,
keluar melewati sebuah padang ilalang kecil. Malam pun segera datang menyambut.
Sampai akhirnya mereka sampai di Arcopodo, sebuah bukit yang akan dijadikan
tempat nge-camp atau bermalam disana.
“Ki... ki...
ta u... u... dah ting.. gi ba... nget ya...” “Udah di tiga ribu meter.” Genta
mengangguk. “Makannya udah tipis udaranya, mulai susah napas.” Zafran
menyalakan api unggun. “Rebus aja air yang banyak, bikin teh manis untuk nanyi
malam.” “Nanti malam memang ada apa?” “Nanti malam kita naik... ke Mahameru.”
“Jam berapa?” “Sekarang jam berapa?” “Jam delapan kurang sepuluh.” “Berarti
kita udah harus tidur sebelum jam sembilan... nggak ada yang ngobrol-ngobrol
lagi, semuanya tidur.” “Kita punya waktu istirahat lim jam lebih. Kita nanti
bangun jam setengah tiga dan langsung naik... Kita harus istirahat supaya bisa
sampai ke puncak.” Setelah menghabiskan makan malam, mereka pun mulai memasuki
tenda untuk beristirahat.
Pukul 02.30 malam, rombongan itu
berdiri di depan tenda. Keenam anak manusia itu tertegun melihat Mahameru dalam
gelap. Semua berkumpul membentuk lingkaran kecil, tangan mereka saling
berangkulan. Semuanya menunduk terdiam. Suara desis doa terdengar sayup-sayup ,
mata mereka sedikit memburam. “Berangkat..!” Rombongan mulai bergerak, berjalan
melewati hutan cemara yang gelap dan terus melanjutkan perjalanan mereka di
antara dinginnya angin malam...
**
Arcopodo
Mahameru. Tujuh Belas Agustus. Tanah Air ini.
This world is for those who want to
fight
Sehabis tertunduk, mereka mendongak
ke atas. Puncak Mahameru seperti sebuah gundukan pasir mahabesar dengan tebaran
batu karang gunung di mana-mana. “Ada yang ingat janji kita waktu di jip? Apa
yang kita perlu untuk sampai ke puncak?” “Masih” “Masih” “Apa?” “Yang kita perlu sekarang Cuma kaki
yang akan berjalan leih jauh dari biasanya, tangan yang akan berbuat lebih
banyak dari biasanya, mata yang akan menatap lebih lama dari biasanya, leher
yang akan lebih sering melihat ke atas, lapisan tekad yang seribu kali lebih
keras dari baja.”
“Dan hati
yang akan bekerja lebih keras dari biasanya....”
“Serta mulut
yang akan selalu berdoa....”
Mereka pun
tertunduk melihat satu sama lain, “Mahameru kita datang!”
“Dari sana dimulai pendakian.” Genta
menunjuk ke sebuah jalan kecil seperti jembatan yang menyembul di antara jurang
dalam di kanan dan kirinya. “Kita harus menyeberang jalan itu... hati-hati ya.”
Semuanya berpegangan erat di rantai, sampai akhirnya mereka semua sampai di
ujung penyeberangan. “Selanjutnya vertikal...,” Arial melihat ke atas, gundukan
pasir dan batu gunung sekarang berada di depannya. Jalan setapak tinggi
berpasir itulah yang harus mereka taklukan. “Hati-hati ya... semuanya”.
Saat sedang mendaki tiba-tiba sebuah
teriakan dari atas mengejutkan mereka , “Batu, batu... awas!!!” “Rocks!!!” beberapa batu kecil dan besar
seukuran genggaman tangan jatuh dari jalur pendakian. Semua pendaki mejatuhkan
badannya ke samping. Buk... buk... gruduk.
Genta tercekat. Dia lupa bilang tentang hal ini. “Sori, emang nantinya banyak
batu yang jatuh dari atas selama pendakian. Hati-hati ya...” “Nggak bilang lo,”
Zafran tampak terengah-engah. “Sori banget lupa... Kalo denger kata ‘batu’ atau
‘rocks’ langsung aja nengok ke atas, liat batunya jatuh ke mana terus mencoba
menghindar, tapi jangan panik. Begitu juga kalo kita yang bikin batu itu
terkepas atau jatuh. Kita harus teriak supaya yang di bawah denger dan nggak
kena batu. Oke?”
Di dalam pendakian tiba-tiba Arial
meminta break. Dia tampak kedinginan, lalu Riani memberikan minum dan kelima
temannya langsung mendekati Arial agar dia terasa hangat. “Udah berapa jauh,
Ta?” “Hampir setengah.” “Masih setengah lagi?” “Liat aja itu puncaknya. Kita
udah hampir setengah, liat udah hampir subuh...,” Ian menatap ke atas. “Gimana
Rambo?” Arial masih menggeleng, sendinya terasa pegal. Udara dingin terus
menusuk-nusuk. “Pakai jaket gue nih.” Ian memberikan jaketnya. “Lo gimana?”
“Gue lapis lima.” “Inget lo kedinginan bukan kecapekan ya. Lo pasti bisa ke
puncak.” “Tambah lagi nih,” Zafran melepas sweaternya. Arial yang sudah hampir
tidak kuat untuk melanjutkan perjalanan ke puncak, tiba-tiba berdiri lagi
setelah mendapatkan dorongan semangat dari kelima temannya. Dan mereka pun
kembali mendaki.
Hujan abu
turun lagi. Bertambah deras, dan menimbulkan gemeletak-gemeletak menyeramkan.
"Gue di depan ya, Ta...” Arial tampak semangat. “OK Bos!”
Malam mulai beranjak pergi, dan
udara pagi mulai menyapa mereka. “Break!” Arial berteriak keras. Mereka berenam
melepas lelah, udara hangat mulai menyapa. Puncak Mahameru mulai terlihat
terang. “Kita di ataas awan... kita di atas awan...” “Keren banget.” “Iya, ini
yang pernah gue bilang. Samudra menyentuh langit.” “Subhanallah...” “Keren
banget.” Di antara lelah tak terhingga, mereka mengucap syukur dan terima
kasih. Kembali keajaiban Mahameru menyapa mereka.
Matahari pagi tujuh belas Agustus
pun terbit, sinar matahari yang hangat menyapa badandingin mereka. “Yuk naik
lagi, tinggal sedikit lagi...” “Tinggal seperempat jalan lagi kayaknya.”
“Betul!” mereka kembali mendaki. Kali ini udara lebih hangat membuat mereka
semakin semangat mendaki. Brug! Teriakan panik terdengar dari atas. “Awas!!!
Yang dibawah awas..!” Brug brrbklutuk lklutuk....
“Batu!!!”
“Awas...!!!” Puluhan batu sebesar ukuran kepala manusia tampak berjatuhan dari
atas mereka. Semua berusaha menghindar ke samping, mencoba mencari perlindungan
di bawah batu yang lebih besar. Brug... brug... brug... “Awas! Awas! Batu!”
Para pendaki yang berada di jalur pendakian beretriak sekuat tenaga. Genta
panik melihat banyaknya batu yang datang, bayang-bayang teman-temannya tampak
menghindar kesana kemari.
Hujan batu dan pasir masih belum
selesai. Gemuruh. Riuh. Lalu... keheningan memnuhi jalur pendakian. Genta
segera berdiri mencari kelima temannya, Ian dan Dinda tampak tergeletak,
menelungkup. Riani tiba-tiba muncul di depannya dengan muka penuh pasir. “Ni...
Ni... nggak pa-pa kan?” Riani menggeleng dalam diam. Genta menarik napas lega.
Zafran terlihat menggeliat dari bawah tumpukkan batu besar dan menganggukan
kepalanya untuk memberi tanda kepada Genta. Arial duduk dan menggoyangkan tubuh
adiknya yang masih tengkurap tanpa gerakan. Di sebelahnya Ian dengan posisi
yang sama.
“Ian... Ian...” Ian masih terpejam.
Semuanya tercekat melihat Ian masih tergeletak, Dinda akhirnya sadar dan
berkata pelan, terputus-putus, “I... i... i... an... Ian a... ada... ba...
ba... tu yang ke... ke... na ke... ke... palanya...” Dinda langsung berdiri dan
mencari Ian. “Ian... Ian... Ian bangun, Yan!” “Please bangun, Yan!” “Ian, Ian!!!” Zafran Riani dan Dinda menangis
melihat Ian yang masih tak sadar. Ian... Ian... bangun.. Ian, please...”
Riani, Arial, Dinda dan Zafran
berlari memeluk Genta. “Ta, Ian, Ta...” “Ian...” mata mereka tak lepas
memandang tubuh Ian yang masih tanpa gerakan sedikit pun. “Ian janganpergi,
Yan! Ian jangan pergi, Yan... Ian jangan pergi dulu...!!! Elo kan mau wisuda,
Yan.. jangan Yan, jangan... maafin gue, Yan... gue banyak salah...” “Ian...
nggak... boleh... pergi.” Genta kembali menangis. “...IAAAAAAAAAANNNNNNNN!!!”
Zafran berteriak keras ke langit. “Puih... puih... kenapa lo, Ple? Bikin kaget
aja... teriak-teriak. Puih... puih... pasir nggak enak ya, Ple... Puih nggak
lagi-lagi deh gue makan pasir. Nggak enak.”
“YEAAAAAH!!!” suara sorakan gembira
memenuhi jalur pendakian Mahameru... semuanya terlihat lega. “YES!!!...
YES!!!... YES!!!” Setelah Ian sadar, mereka berenam kembali melanjutkan
perjalanan mereka. Ian dan Zafran terus mendaki, kali ini mereka tambah
bersemangat setelah melihat bendera merah putih yang dibawa oleh seorang
mahasiswa yang memakai jaket almamater.
“This is it... the end... of our journey...”
Genta berehenti sebentar diantara dua buah batu besar. Jalur pendakian tampak
berhenti disitu. Mereka masih belum sampai puncak, pemandangan puncak Mahameru
masih tertutup gundukan tanah kecil di depan mereka.
“Hanya
beberapa langakah lagi... kita sampai di pucak...”
“Hold my
hand please...” Riani tersenyum menggandeng tanagn Dinda dibelakangnya, Dinda
memegang tangan Ian, Zafran dan Arial terus menyambung genggaman itu.
“Siaaap?”
Genta tersenyum lepas... semuanya memandang satu sama lain. Setengah berlari
mereka bergandengan memasuki jalur akhir pendakian yang tinggal sepuluh meter
lagi.
Tujuh
meter....
Lima
meter....
Tiga
meter....
...!!!!
“Dan....
kita di Mahameru....” Akhirnya mereka berhasil mencapai puncak Mahameru untuk
mengibarkan Sang Saka merah putih dan melakukan upacara 17 Agustus di atas
puncak Mahameru.
Tujuh belas
Agustus. Setengah delapan malam.
Wajah-wajah penuh ceria di antara
nyala api unggun terlihat jelas di tanah surga Mahameru. Keenam sahabat itu
asik bercengkerama di tengah udara dingin Ranu Kumbolo. Setelah selesai
bercengkerama, satu-satu mereka masuk ke dalam tenda. Genta dan Riani masih
ingin menikmati malam yang indah di Ranu Kumbolo. Mereka berdua duduk
berdekatan di depan api unggun. “Thanks ya, Ta, buat ini semua.” Genta
mengangguk, matanya memandangi api unggun. “Kita sering banget berduaan begini
ya, Ta?” “Iya...” “Seperti bapak sama ibunya anak-anak. Yang lain udah pada
tidur, kita masih sering ngobrol berdua,” ujar Riani lembut. Genta menarik
napas panjang, mengumpulkn keberaniannya. Genta menoleh ke tenda tempat
teman-temannya tertidur lelap.
“Riani...” Dan... kata-kata tumpah saat itu juga, penih dengan ciptan-ciptaan
keindahan argumen lembut mengalir deras. Riani yang semenjak tadi
mendengarkan,menoleh lembut ke Genta, matanya berkaca-kaca, tangan lembutnya
memegang erat Genta. “Terima kasih, Ta” “Tapi... bukan... kamu, Ta.” Genta seakan
tidak percaya dengan apa yang dikatakan Riani. “Dia... Zafran, Ta.” Genta
tersenyum lembut, kekcewaannya luluh melihat kekuatan Riani.
**
Sepuluh
tahun kemudian
Minggu pagi
di Secret Garden.
“Arian!!!
Jangan cabut tanaman... papa nggak suka...” Arial menggendong buah hatinya yang
berumur lima tahun. Keluarga besar itu berkumpul di bungalow secret garden.
Riani dan Dinda memejamkan matanya, sekarang mereka menjadi seorang ibu.
Bungalow secret garden hari itu penuh dengan doa, mimpi, dan keyakinan tulus di
hati anak manusia. Semuanya saling pandang dan tersenyum hangat satu sama lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar